ADAT, KUBNI, AGAM
Melestarikan Budaya, Memelihara Iman,dan Memperkuat Persaudaraan
Penulis : Tarsisius Sarkol,S.Sos,M,Si
(Pemuda Ohoi Wulurat,-
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu-Ilmu Sosial Tual)
Adat, Pemerintah, dan Gereja, atau dalam sebutan dalam Bahasa Kei, Adat, Kubni, Agam (AKA), dipercaya oleh masyarakat Kepulauan Kei, adalah tiga tungku menopang kehidupan masyarakat di Bumi Larvul Ngabal.
Perjalanan kehidupan masyarakat Kei yang awalnya masih mempercayai alam (adat), setelah itu mengenal agama, dan terbentuklah pemerintah, telah membuktikan, keterlibatan tiga unsur AKA, dalam menopang kehidupan, masyarakat Kei dapat memberikan jaminan keselarasan hingga kini.
Prosesi penutupan atap gereja Katolik Santo Antonius de Padua Stasi Wulurat, Paroki Elat, Katlarat,Wulurat dan Ohoilim, yang berlangsung pada hari Kamis 12 September 2019 menjadi bukti tiga unsur AKA dipadukan menghasilkan suatu tatanan kehidupan masyarakat yang beragama, berbudaya dan bernegara.
Tulisan ini, tidak untuk menyombongkan diri tapi menjadi momentum sebagai generasi muda Kei, yang juga meyakini keselarasan tiga unsur AKA yang perlu dilestarikan dan dihormati.
Sebagai anak muda Kei, yang berasal dari Ohoi Wulurat dari mata rumah RAHAN RUS A WEAR, mencoba mendeskripsikan balutan prosesi adat dan agama yang begitu mistis dan agung tersebut dalam penulisan ini.
PENINGGALAN LELUHUR
Hari itu, langit sangat bersahabat, dibawah cahaya matahari sekira pukul 11.30 WIT, yang menembus dedaunan diantara pepohonan yang tumbuh disepanjang jalan masuk Ohoi Wulurat, telah berdiri para tetua adat Ohoi Wulurat dan kelompok para penari. Mereka bersiap menyambut kedatangan Wakil Bupati Maluku Tenggara, Petrus Beruatwarin bersama rombongan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompida) Kabupaten Maluku Tenggara, serta tamu undangan. Kedatangan orang nomor dua di Kabupaten Maluku Tenggara dan rombongan ini, untuk menghadiri Prosesi Tutup Atap Gereja Santo Antonius de Padua Stasi Wulurat.
Sesuai tradisi masyarakat Ohoi Wulurat, para tamu yang baru tiba di kampung, harus menjalani prosesi adat. Rombongan yang telah tiba, tidak diantar langsung ke lokasi pembangunan gereja, tetapi harus melewati jalan tua yang oleh masyarakat ohoi Wulurat disebut jalan WEAR BEL menuju lokasi pekuburan leluhur Ohoi Wulurat, dan selanjutnya memasuki Woma EL WALOB BAEL NGANU yang dilindungi oleh benteng yang terbuat dari bebatuan alam.
Ritual yang berlangsung ini merupakan ritual adat ditinggalkan para leluhur dan diteruskan oleh masyarakat KO YAM FAAK, Ohoi Wulurat. Ritual adat ini, merupakan tradisi yang kami pegang dan lestarikan dari generasi ke generasi, setiap adanya kegiatan agama (dalam gereja Katolik) atau pemerintahan, harus didahului ritual adat.
Bertolak dari cerita turun temurun, jauh sebelum masyarakat Kepulauan Kei, mengenal dan menerima agama sebagai suatu keyakinan imannya, masyarakat telah hidup ratusan tahun dengan kepercayaaan alam. Masyarakat meyakini adanya kekuataan lain yang tak terlihat yang menguasai kehidupan alam semesta. Pepohonan, bebatuan, hutan, lautan, udara, dijadikan sebagai mediator untuk menyampaikan doa dan permohonan bagi leluhur mereka, dan bagi penguasa alam semesta yang tak kelihatan.
Prosesi adat yang diterima Wakil Bupati Maluku Tenggara bersama rombongan pada acara penutupan atap gereja, merupakan tradisi peninggalan para leluhur. Selain ritual adat itu, setidaknya terdapat 3 peninggalan leluhur yang kami lestarikan hingga saat ini, dan menjadi keindahan alam dan peradaban budaya yang saya percaya sebagai sebuah mahakarya seni yang luar biasa yang ditinggalkan para leluhur bagi kami.
- Makam (Kuburan) para leluhur kami yang kami sebut IKSAEL. Inilah makam kuno, denga cara penguburan yang tergolong unik. Dikatakan unik, karena para leluhur Ohoi Wulurat yang mangkat, dikuburkan tidak secara lazim, yaitu digali lubang tanah dan ditutupi. Sebaliknya, para leluhur yang mangkat, dibaringkan diatas tanah kemudian, disekelilingnya disusun batu dengan rapi membentuk kuburan dengan rongga (cela) ditengah. Kuburan bebatuan alami ini berdiamater panjang sekira 2 meter dan lebar 1 meter. Jika menengok melalui cela yang terletak di tengah kuburan dapat terlihat dengan jelas tulang belulang para leluhur kami yang terbaring diatas tanah beralaskan piring sebagai bentuk penghormatan atas jasa mereka membangun sebuah benteng pertahanan yang kami sebut Benteng Kot Ohoiwait.
Didalam makam kuno itu terbaring dengan tenang, leluhur dari 4 marga terbesar yang lebih dahulu mendiami Ohoi Wulurat yaitu Moryaan, Morwarin, Sarkol,dan Rahangiar. Makam kuno ini, masih terjaga hingga saat ini, sebagai bukti tanda peradaban leluhur Ko Yam Faak.
Saat kedatangan Wakil Bupati Maluku Tenggara bersama rombongan, berhenti di depan IKSAEL dan mengikuti doa adat yang dibawakan tetua adat,tujuannya memberitahukan acara yang digelar dan memohon perlindungan untuk keselamatan masyarakat dan seluruh tamu undangan.
- Benteng Pertahanan dari batuan alam yang kami sebut Benteng KOT OHOIWAIT. Sebuah mahakarya arsitektur bernilai seni buatan tangan para leluhur kami sekira abad 14 yang diceritakan dibangun selama 3 musim timur. Benteng kokoh ini tersusun dari batu papan alam yang diperkirakan batuan ini dikirim dari gunung melalui aliran air kali yang berada di sisi utara benteng. Ukuran batuan lebar 1-2 meter per batu. Dari hasil tangan-tangan perkasa leluhur Ko Yam Faak, menghasilkan sebuah karya seni benteng berukuran panjang sekira 40,5 meter, lebar 39,9 meter, dengan ketebalan tembok 2 meter masih asli seperti awalnya. Ketinggian benteng mencapai mencapai 7 tingkat atau sekira 7 meter. Namun, saat pemerintahan kolonial Belanda, memerintahkan renovasi benteng itu sehingga kini tersisa 4 tingkat (4 meter).
Saya menduga, tuntutan untuk mempertahankan kehidupan ditanah yang didiami zaman itu, mendorong para leluhur merancang benteng tersebut sebagai benteng yang begitu startegis, menjadi benteng bertahan sekaligus menyerang. Betapa hebatnya leluhur Ko Yam Faak merancang pembangunan benteng, buktinya dari peninggalan benteng masih terlihat dua pintu, satu pintu depan bagian utara yang disebut FID KARBAUW dengan lebar 1,5 meter, dan satu pintu belakang bagian selatan disebut FID WALUIS, berukuran 2 meter. Masih terdapat pula 2 pintu rahasia di sisi timur dan barat dasar tembok, bahkan terdapat 4 jendela pengintai berada 2 jendela di sudut barat, 1 di sudut selatan dan 1 satu di sudut timur.
Setelah Rombongan Wakil Bupati Maluku Tenggara mengikuti doa adat di makam kuno leluhur Ko Yam Faak, selanjutnya rombongan menaiki tangga benteng, menuju Woma El WALOB BAEL NGANU yang terletak di dalam benteng. Di pintu masuk rombongan disambut oleh tetua adat yang mendapat kawalan, hulu balang berpakaian cawat, dengan memegang peralatan perang berupa, parang, tombak dan panah, dengan gagah menunjukan benteng tersebut dijaga.
- WOMA EL WALOB BAEL NGANU, merupakan kampung tua, dan lokasi yang dijadikan oleh para leluhur kala itu hingga oleh generasi saat ini, menjalankan ritual adat. Woma El Walob Bael Nganu, dibagi menjadi 2 pelataran, dimana pelataran diatas berfungsi sebagai maduwun (lokasi tempat dilaksanakan sob-sob) dan pelataran di bagian bawah sebagai tempat pembakaran api kehidupan (saat acara api unggun telah dinyalakan dan dijaga sejak sehari sebelumnya). Hanya mereka yang kami sebut sebagai tuan tan, atau tuan tanah dari marga Moryaan yang sejak zaman para leluhur dipercaya membawa dan mempersembahkan ‘sob-sob’.
Rombongan Wakil Bupati Maluku Tenggara, kemudian diarak menuju Woma, disana telah bersiap ‘Tuan Tan” atau tuan tanah dari marga Moryaan mempersembahkan sob-sob. Setelah prosesi sob-sob di Woma, Wakil Bupati diarak masuk ke rumah adat ‘RAHAN RUS A WEAR’. Rumah yang diyakini sebagai tempat sakral, untuk membahas keberlangsungan masyarakat ohoi, tempat memutuskan perkara warga ohoi, dan tempat untuk pelaksanaan ritual adat lainnya.
PROSESI PENUTUPAN ATAP GEREJA
Rombongan Wakil Bupati Maluku Tenggara, setelah menjalani prosesi adat dimulai dari doa adat di lokasi IKSAEL, persembahan adat sob-sob di Woma, dilanjutkan penyambutan secara kekeluargaan di dalam rumah adat Rahan Rus a Wear. Rombongan kemudian diantar menuju lokasi pembangunan gereja yang terletak di pusat kampung. Dari Woma menuju lokasi gereja, sekira 300 meter. Rombongan diantar menggunakan belan (perahu adat) yang diberi Belan SAKRAU. Dendengan tifa,gong dan seluring memberi semangat para pendayung belan SAKRAU, membawa rombongan yang berada dalam belan menuju lokasi gereja.
Di lokasi gereja, tamu undangan telah hadir, mereka yang hadir bukan saja dari perwakilan umat Katolik tiap ohoi di Pulau Kei Besar, tetapi juga keluarga yang berasal dari agama Protestan dan Islam yang memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat Ohoi Wulurat, terutama mereka yang kami sebut Vat Yan Ur, sebagai turunan pihak perempuan yang berasal dari berbagai ohoi di sekitar Wulurat dan Pulau Kei Besar maupun Kei Kecil.
Dalam tradisi masyarakat Kei,ketika ada salah satu keluarga yang menutup atap rumah, maka akan diadakan tradisi memanggil saudari perempuan atau turunan perempuan untuk ikut serta dalam prosesi tutup atap rumah tersebut. Tradisi inipun dipakai oleh masyarakat Ohoi Wulurat, ketika prosesi penutupan atap gereja.
Perpaduan ritual adat dan agama,menciptakan situasi yang begitu mulia dan agung. Sebelum atap gereja dinaikan, berlangsung ritual agama Katolik berupa doa dan percikan air kea tap gereja yang diletakan di tanah oleh Pastor Ely Ohoiledwarin didampingi Pastor Frederikus Sarkol.
Usai ritual agama, dilanjutkan tradisi pemasangan atap rumah, terlihat adanya tari-tarian dan dibawanya persembahan berupa makanan dan uang dari perwakilan Vat Yan Ur dibawa kepada saudara laki-laki Ohoi Wulurat, diiringi gendengan tifa,gong dan seruling. Vat Yan Ur, menjadi pihak pertama yang dipersilahkan membawa atap gereja menuju lokasi pemasangan.
PERAN PEMERINTAH MELESTARIKAN BUDAYA DAN ADAT
Perpaduan antara ritual agama dan tradisi budaya masyarakat Kei, terlihat jelas pada acara penutupan atap gereja Santo Antonius de Padua Stasi Wulurat. Bahkan, perpaduan antar tiga unsur juga terlihat ketika rombongan pemerintah daerah disambut dengan prosesi adat merupakan budaya Ohoi Wulurat.
Keindahan dan keagungan yang dihasil oleh tiga unsur Adat, Kubni dan Agam, mendapatkan apresiasi pemerintah daerah Kabupaten Maluku Tenggara. Sejatinya, pemerintah daerah harus mendudukan ketiga unsur sama derajat tingginya atau dalam peribahasa disebut ‘Berdiri Sama Tinggi, Duduk Sama Rendah’ sehingga tiga unsur ini mewujudkan keselarasan kehidupan yang berbudaya, beragama, dan bernegara.
Wakil Bupati Maluku Tenggara, Petrus Beruatwarin, mengakui kegiatan tersebut membuktikan bahwa Adat dan Agama dapat berjalan selaras. Demikian Penegasan Wakil Bupati Maluku Tenggara, Petrus Beruatwarin saat membawa sambutan pada Acara Penutupan Atap Gereja Santo Antonius de Padua Stasi Wulurat di Desa Wulurat Kecamatan Kei Besar, Kamis (12/9).
Wakil Bupati Maluku Tenggara, mengajak Umat Katolik Stasi Wulurat hendaknya lebih menghayati kehadiran Gereja ini sebagai suatu kesatuan pribadi-pribadi umat untuk menyuarakan kedamaian sejati yang membawa cinta bagi sesama.
Salah satu dasar kedamaian sejati adalah hidup solider dengan sesama, hormati kepelabagaian, jangan mudah terprovokasi oleh isu-isu menyesatkan yang dapat menghacurkan kebersamaan masyarakat.
Menurut Wakil Bupati Maluku Tenggara, pembangunan Gedung Gereja St. Antonius De Padua Stasi Wulurat, bukan kemegahan gedung gereja yang menjadi penilaian kebaikan, namun melalui kehadiran bangunan gereja melahirkan kualitas iman umat Katholik khususnya Stasi Wulurat yang benar-benar 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia.
Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara, akan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan umat lewat organisasi-organisasi keagamaan yang ada untuk mengembangkan potensi umat melalui kegiatan-kegiatan kerohanian serta bantuan-bantuan keagamaan yang bertujuan untuk membantu pengembangan umat beragama di Bumi Larvul Ngabal.
Apa yang disampaikan Wakil Bupati Maluku Tenggara, mewakili pemerintah daerah merupakan suatu keniscayaan. Namun, seiring dengan semakin tergerusnya adat dan budaya masyarakat Kei, komitmen pemerintah untuk menempatkan adat, pemerintah, dan agama harus terlihat melalui kebijakan berupa program dan kegiatan yang mengarah pada perpaduan tiga unsur dimaksud.
Kepemimpinan Bupati Maluku Tenggara, Muhammad Thaher Hanubun dan Wakilnya, Petrus Beruatwarin, yang ingin mengembalikan jati diri masyarakat Kei, perlu mendapatkan apresiasi dan dukungan seluruh elemen masyarakat.
Olehnya itu, salah satu wujud upaya mengembalikan jati diri masyarakat adat Kei, yaitu secara konsisten dan berkelanjutan mengalokasikan anggaran, memfasilitasi kegiatan agama dan budaya yang didalamnya terlihat perpaduan seperti prosesi penutupan atap gereja Stasi Wulurat. Selain itu, tradisi seperti budaya maren yang mulai ditinggalkan misalnya pembangunan rumah adat, gereja dan masjid yang melibatkan sanak saudara dari berbagai ohoi atau agama lain yang memiliki hubungan kekerabatan.
MAKNA PENUTUPAN ATAP GEREJA
Pada akhirnya, apa yang ditunjukan oleh umat Katolik Stasi Wulurat, melalui penutupan atap gereja dengan balutan tradisi adat dan budaya, sesungguhnya juga memiliki makna dan pesan moril yang mendalam bukan saja bagi masyarakat Ohoi Wulurat, tapi seluruh keluarga, tamu dan undangan yang hadir. Dari rangkaian acara tersebut, ada beberapa makna dan pesan yang dapat kita pelajari sebagai berikut:
- Bahwa sebelum agama dikenal oleh masyarakat Wulurat dan masyarakat Kei secara umum, adat dengan tradisinya sudah dipraktekan dalam kehidupannya. Dengan demikian, kehadiran agama menjadi jembatan untuk mempertegas lagi keyakinan masyarakat Kei, bahwa persembahan ‘sob-sob’ yang disembahkan kepada penguasa alam semesta yang dimaksud adalah Tuhan, sebagaimana diajarkan dalam agama, sehingga kehadiran agama tidak menghilangkan adat beserta tradisinya.
- Perpaduan ritual agama dan adat tersebut, menjadi contoh betapa kaya, adat dan budaya masyarakat Kei. Paduan ini, seharusnya dikelola menjadi potensi bagi kemasalahatan masyarakat dengan cara masyarakat dan pemerintah mendorong, setiap tradisi adat dan budaya di tiap ohoi, perlu ditampilkan tiap momentum acara agama, adat ataupun pemerintahan. Bila ini terus dilakukan, maka kerasnya perubahan zaman tidak akan mengerus tradisi adat dan budaya masyarakat Kei, sebaliknya dikelola menjadi potensi pariwisata berupa wisata budaya dan wisata rohani.
- Momentum pemasangan atap gereja Santo Antonius de Padua, tidak sekedar dilihat sebagai ritual belaka, tapi disadari sungguh, momentum itu menunjukan bagaimana masyarakat Kei, yang kini telah memiliki keyakinan agama, latar belakangan sosial-ekonomi yang berbeda, dan pengaruh zaman, namun masyarakat tetap hidup saling berdampingan. Nilai yang terkandung dalam acara tersebut yaitu melestarikan budaya, memelihara iman,dan memperkuat persaudaraan antar sesama masyarakat Kei.
- Namun, yang tak kalah penting bagi masyarakat Ohoi Wulurat, mau menunjukan dan memotivasi tiap ohoi lain, untuk dapat menunjukan jati diri dan potensi keindahan budaya peninggalan leluhur. Oleh karena itu, bila ada waktu, berkunjunglah ke Ohoi Wulurat, suatu ohoi kecil, dipinggiran Kota Elat,Kecamatan Kei Besar, yang hingga kini masih memegang teguh tradisi adat dan merawat hasil peninggalan leluhur yang merupakan bukti peradaban masyarakat Ohoi Wulurat sejak zaman dahulu.