Jakarta – Ditengah perubahan iklim yang sedang terjadi, di antara gempuran berita tentang eksploitasi hutan, rupanya masih banyak cerita manis tentang keharmonisan antara alam dan manusia.
Ternyata masih banyak orang yang peduli pada hutan dan menjaganya mati-matian.
Begitulah yang ditemukan oleh TelusuRI, media perjalanan dan pariwisata Indonesia, dalam Rilis Pers yang diterima media ini jumat ( 19 / 12 / 2024 ) saat menjalani ekspedisi Arah Singgah 2023–2024.
Tim yang terdiri dari Mauren Fitri, Rifqy Faiza Rahman, dan Deta Widyananda ini menyusuri hutan di 10 kabupaten yang berlokasi di 6 provinsi, yaitu Jawa Tengah, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Timur, Papua Barat Daya, dan Papua.
Mereka bertemu dan berdiskusi bersama masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan dan menggantungkan hidupnya pada hutan.
Rifqy melihat, dunia kerja bukan hanya untuk yang berseragam. Kita bisa menciptakan pekerjaan dari hutan di sekitar kita, apalagi dibekali dengan warisan yang masih bertahan.
Dalam perjalanannya yang panjang, ia bertemu banyak orang yang mampu melihat kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik.
“Dengan begitu, ada manfaat ekonomi yang bisa dipetik tanpa harus merusak lingkungan. Ketika mereka mengambil dari alam, mereka mampu memulihkannya kembali. Ini bukan pekerjaan yang mudah, ” ujarnya
Hutan adalah ibu
Bagi masyarakat Papua, istilah hutan adalah ibu bukan sekadar ungkapan tanpa makna. Mereka benar-benar menganggap bahwa hutan adalah mama, sumber penghidupan, yang akan memberikan apapun demi kelangsungan hidup mereka.
Sebagai contoh, masyarakat Papua tidak memiliki kebun khusus untuk menanam sagu. Apa yang diberikan Tuhan di hutan, itulah yang mereka manfaatkan.
Kepala Kampung Bariat, Sorong Selatan, bercerita kepada TelusuRI, jika memanen padi, mereka harus tunggu empat bulan. Sedangkan untuk mendapatkan sagu, mereka bisa mencari begitu saja di hutan. Begitu berlimpah persediaan sagu di kampung tersebut.
Tak mengherankan, jika Sorong Selatan menjadi salah satu kabupaten dengan cadangan sagu terbesar di Papua Barat Daya.
“Kami mengamati cara mereka mengolah sagu dari hulu sampai ke hilir. Satu pohon sagu ditebang dan diolah bersama-sama. Ada pembagian tugas yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Hasil olahan berupa tepung sagu bisa dikonsumsi oleh banyak orang dalam satu kampung selama berhari-hari,” kata Rifqy.
Dan, mereka bijak dalam mengambil. Tidak menebang habis pohon sagu, mereka hanya mengambil secukupnya, dan menyisakan tunas untuk bisa bertumbuh lagi.
“Kepercayaan bahwa hutan adalah ibu benar-benar mengakar kuat di Sorong. Pengetahuan dan praktik tentang hutan diwariskan turun-temurun. Beberapa tempat keramat ditandai secara khusus untuk melindungi pohon sagu, ” katanya
Bumbu pun bisa didapatkan dari hutan, termasuk garam. Di Kampung Malawele, Kabupaten Sorong, ada Sinagi Papua yang memproduksi bumbu asin atau garam hutan dari pohon nipah.
Bumbu ini merupakan warisan leluhur Suku Moi. Mereka membakar pelepah nipah sampai menjadi abu kehitaman, yang disebut garam nipah.
“Tapi, untuk keperluan komersial, tampilannya dipercantik. Abu hitam itu disaring, dimasak, hingga berubah warna menjadi putih. Teh pun bisa mereka buat dari kayu hutan kamlowele,” kata Rifqy, yang melihat hubungan antara hutan dan manusia di Papua sangat personal.
Di Kalimantan, masyarakat Kampung Merabu menganggap bahwa kampung mereka merupakan kampung terakhir di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yang masih menjaga hutan dan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat.
Sementara kampung tetangga sudah disesaki oleh perkebunan kelapa sawit.
“Koneksi antara mereka dan hutan, termasuk orang mudanya, sangat baik. Mereka menganggap keberadaan hutan memainkan peranan sangat penting. Mereka masih bisa bermain di hutan, mencari hasil hutan, seperti madu hutan, juga berburu kijang dan babi hutan. Suku Dayak Lebo yang tinggal di Kampung Merabu dikenal sebagai suku peramu obat tradisional, yang bahannya didapat dari hutan, ” jelasnya
Kearifan lokal menjadi pagar
Rifqy bercerita, hidup masyarakat Desa Batu Songgan di Riau sangat bergantung pada hutan dan sungai dengan pemanfaatan yang terbatas.
Untuk menjaga ekosistem dua kawasan tersebut, mereka mempunyai aturan adat, yaitu hutan larangan dan lubuk larangan.
“Saat hutan larangan diberlakukan, selama beberapa waktu, masyarakat tidak boleh mengakses suatu kawasan hutan tertentu. Ketika area itu dibuka kembali, barulah mereka bisa memanen hasil hutan bersama-sama, ” Terangnya.
Hal serupa diberlakukan di area Sungai Subayang. Sungai tersebut diberi pembatas jaring yang tidak boleh dimasuki oleh siapa pun.
Aturan ini diterapkan untuk menjaga ikan kecil, sehingga mereka bisa terus bertumbuh. Saat panen raya, kepala kampung akan membuka larangan tersebut dengan upacara adat, dan masyarakat boleh mengambil hasil sungai.
Menariknya, Suku Moi juga mempunyai aturan serupa. Namanya egek.
“Tradisi egek membatasi akses masyarakat untuk masuk kawasan hutan. Di dalam hutan terdapat sejumlah situs bersejarah dan pohon keramat. Untuk ekowisata, jalurnya dibuat di luar jalur-jalur egek. Egek di hutan akan dibuka saat waktunya tiba. Ketika itu, masyarakat boleh memanen hasil hutan,” kata Rifqy.
Egek juga diterapkan di laut. Para kepala kampung menentukan satu kawasan khusus di laut yang tidak boleh diakses oleh masyarakat.
Selama egek diberlakukan, ada tiga hasil laut yang tidak boleh diambil, yaitu lobster, lola (kerang laut), dan teripang. Hasil laut lain, seperti berbagai macam ikan, tetap boleh diambil untuk kebutuhan sehari-hari.
“Egek dibuka dengan Festival Egek, yang biasanya diadakan setahun sekali. Saat itu, masyarakat akan memanen hasil laut beramai-ramai dan menjualnya kepada pengunjung. Sebagian hasil penjualan digunakan untuk keperluan gereja atau biaya sekolah anak-anak di kampung tersebut,” cerita Rifqy, yang selama ekspedisi sering kali menginap di rumah atau homestay penduduk.
Pulihkan alam, tingkatkan ekonomi
Dalam perjalanannya yang sangat seru, TelusuRI bertemu sejumlah tokoh inspiratif dan menemukan fakta yang mencengangkan.
Sebagai contoh, beberapa tahun lalu, Desa Brenggolo di Wonogori, Jawa Tengah, dikenal sebagai daerah yang gersang, kering, dan mudah mengalami longsor.
Lewat perjuangan selama satu dekade, dua warga Wonogori yang sempat bekerja di perkebunan kopi di Palembang membawa bibit kopi dan menanamnya di hutan desa.
“Saat dicoba di kampungnya, tak ada orang yang merespons. Namun, perlahan perjuangan mereka membuahkan hasil. Masyarakat sekitar kemudian percaya bahwa kopi bisa mengubah kehidupan. Berkat kopi, kampung yang awalnya gersang dan kurang sejahtera, bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik daripada sebelumnya. Dari segi ekologi, kopi juga memberi benefit, karena berfungsi menyimpan air,” cerita Rifqy.
Di Bengkalis, Riau, TelusuRI bertemu Samsul Bahri yang merestorasi mangrove. Dulu desanya sering mengalami banjir rob hingga setinggi setengah meter. Padahal, rumahnya jauh dari pantai. Anak-anak sungai sering dilanda banjir, sehingga lahan pertanian dan perkebunan rusak, kelapa jadi terasa asin.
Berangkat dari keresahan itu, Samsul belajar cara merestorasi mangrove sendiri.
Mulanya ia bergerak sendiri bersama kelompok-kelompok kecil. Hingga kemudian datanglah Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) yang melakukan pendampingan dengan program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA).
Sementara itu, di desa penyangga Taman Nasional Gunung Leuser, tepatnya di Kabupaten Langkat, TelusuRI bertemu Rutkita Sembiring, seorang mantan pembalak liar.
Ia mengaku pernah menghabisi pohon di kawasan konservasi Tangkahan seluas 300 – 400 hektare.
“Hutannya memerah karena ditebang habis. Tapi, sekarang sudah kembali hijau dan menjadi destinasi ekowisata ternama,” kata Rifqy.
Rupanya, dialog dengan kelompok mahasiswa pencinta alam membuat Rutkita berputar arah.
Ia tak lagi mengeksploitasi kayu dari hutan, melainkan memasarkannya dengan cara berbeda, yaitu ekowisata.
Ekowisata jadi andalan
Di tengah berbagai usaha pelestarian lingkungan, ekowisata, menurut Rifqy, masih menjadi jalan tengah yang merupakan win win solution. Tidak merusak lingkungan dan secara ekonomi juga menghasilkan pendapatan yang cukup bagus. Itulah kenapa banyak kawasan hutan yang menawarkan ekowisata.
Contohnya, hutan mangrove seluas lebih dari 1000 hektar yang digarap oleh Samsul dan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Teluk Pambang, dijadikan destinasi ekowisata.
Kegiatan yang ditawarkan antara lain susur sungai dan menanam mangrove. Ada pula Kampung Malagufuk di Sorong yang masyarakatnya menjaga hutan dengan membuat program ekowisata berkelanjutan.
Kegiatan yang ditawarkan adalah mengamati lima spesies burung cenderawasih.
Tak kalah menarik adalah ekowisata di Kampung Merabu, yang masih dipenuhi hutan.
Kampung ini berlokasi di kawasan ekosistem Karst Sangkulihang-Mangkalirat, salah satu ekosistem karst terbesar di Kalimantan.
Di kampung ini terdapat banyak situs bersejarah. Misalnya, Goa Bloyot di dalam kawasan hutan desa, yang di dalamnya terdapat lukisan purba. Ada Danau Nyadeng yang menjadi sumber mata air.
Rifqy bercerita, hasil dari ekowisata dan program adopsi pohon dimanfaatkan untuk membiayai anak sekolah. Karena di sana hanya ada sekolah, maka ketika harus keluar dari kecamatan untuk menjalani pendidikan tingkat SD dan SMA, anak-anak akan diberi beasiswa dari hasil hutan.
Di akhir perjalanan Rifqy dan tim menyadari, pembangunan apa pun tidak bisa dilihat dari kacamata Jawa dan Jakarta.
” Akan lebih baik, jika semua berbasis kearifan lokal, ” Pintanya.