Jika BPN Mabar Batalkan SHM Pihak Tergugat, Santosa Kadiman Siap-siap Angkat Kaki dari Keranga

Img 20240802 wa00201

Labuan Bajo – Sidang lanjutan perkara Perdata nomor: 01/Pdt.G/2024/PN Labuan Bajo, antara Penggugat Muhamad Rudini (ahli waris alm. Ibrahim Hanta dengan Tergugat anak Nikolaus Naput dan Turut Tergugat Santosa Kadiman (Pemilik Hotel.St Regis) dan juga BPN Manggarai Barat yang digelar  31 Juli 2024 di Pengadilan Negeri Labuan Bajo menghadirkan Anton Bagul Dagur, mantan Bupati Manggarai periode 2000-2005.

Dalam persidangan tersebut, Anton Bagul Dagur diperkenalkan Pengacara Tergugat dan Turut Tergugat sebagai ahli adat Budaya Manggarai.

Informasi yang diperoleh media ini, sebagaimana diketahui, perkara ini menyangkut tanah yang sudah diperoleh ahli waris dari alm. Ibrahim Hanta, secara adat budaya berupa “kapu manuk lele tuak” pada tahun 1973 dari Fungsionaris ulayat Nggorang, Haji Ishaka, dan diperkuat dengan surat keterangan tertulis dari Penata Tanah, Alm. Haji Adam Djuje (yang diberi kuasa oleh Fungsionaris Ulayat sejak tahun 1996) sesuai keharusan administrasi BPN sebagai syarat pemrosesan sertifikat tanah.

Tanah milik ahli waris Alm. Ibrahim Hanta tersebut faktanya dikelola, tanam jagung, kelapa dan jati, bangun pondok di sana.

Ketika ahli waris mau mengajukan sertifikat tanah tahun 2019, betapa kagetnya dia karena BPN Manggarai Barat menginformasikan kalau tanah tersebut di pantai Keranga Labuan Bajo itu sudah bersertifikat hak milik atas nama anak-anak dari Niko Naput.

Namun dari fakta persidangan yang digelar kemarin di PN Labuan Bajo, Jon Kadis, S.H., selaku anggota tim Kuasa Penggugat pada Kamis, 1 Agustus 2024 mengakui kalau sertifikat tanah orang lain diatas tanah ahli waris Ibrahim Hanta di Keranga berpotensi dapat dibatalkan.

Jon Kadis menjelaskan, meskipun hal tersebut tidak secara explisit disampaikan Anton Bagul Dagur selaku saksi ahli Tergugat ketika hal itu ditanyakan kepadanya tentang munculnya sertifikat tanah atas nama orang lain di atas tanah yang sudah dibagi secara adat oleh Fungsionaris adat, namun dari kekukuhan saksi ahli pada adat budaya penyerahan tanah secara adat itu berupa “kapu manuk lele tuak”, dimana apa yang sudah ditetapkan  Fungsionaris adat jauh sebelumnya sah.

Ia mengatakan dalam keterangan tentang dirinya di hadapan Majelis hakim, Anton Bagul menyebut dirinya bukan saja ahli budaya, tetapi sebagai ahli adat dan ahli hukum adat yang juga sebagai Dosen di kampus Unika ST. Paukus Ruteng.

“Saya menyaksikan fakta persidangan dengan cermat ketika ahli ini menjawab dan memberi penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan PH Tergugat. Antara lain,  khusus di masyarakat Nggorang, kepemimpinan Fungsionaris adat/ulayat bersifat autokrasi pada diri seorang Dalu dan turunannya, hal itulah membuat ia berbeda dengan fungsionaris ulayat di tempat lainnya di Manggarai. Keputusan Fungsionaris ulayat sah, ” Jelasnya.

Jon Kadis menuturkan, ketika ditanyakan tentang surat Keterangan Penata tanah yang turut ditandatangi Lurah/Kepada Desa, dijawabnya bahwa itu tidak sah, dan manipulasi semua.

“Saya ahli, saya ilmuwan, saya omong ini dibawah sumpah. Ketika ditanyakan tentang pengumuman penerus fungsionaris ulayat saat penguburan jenazah almarhum fungsionaris ulayat terdahulu sah atau tidak, dijawabnya itu sah-saja. Saya ahli, dan saya paling tahu karena saya pernah menjadi Bupati yang membawahi wilayah Manggarai (sebelum mekar) dan menangani banyak kasus tanah adat dan berhasil. Tak ada lawan ! Saya tahu adat, budaya, hukum adat, dan tak ada lawannya di Manggarai ini dalam menyelesaikan kasus-kasus adat budaya”, kata Jon Kadis mengutip ucapan Anton Bagul saat di ruangan sidang.

Jon Kadis menambahkan, ketika Ia sebagai PH Penggugat bertanya tentang legitimasi keahliannya, seperti lembaga pendidikan apa yang mempredikatkan diri Saudara sebagai sebagai ahli budaya, ahli adat dan ahli hukum adat, Anton Bagul menjawab agak emosi.

“Dia bilang bahwa “pertanyaan saudara di luar konteks, tadi saya ‘kan sudah bilang bahwa bidang studi Antropology, Sosiologi dan Psikology adalah cukup menunjukkan bahwa saya ilmuwan, saya ahli”, kata Jon Kadis mengutip ucapan Anton Bagul sambil geleng-geleng Kepala.

Dalam persidangan ini, sempat terjadi suasana riuh karena nada tinggi, ketika saksi ahli Anton Bagul menjawab PH Penggugat dengan kalimat “Saudara bodoh, kau punya pertanyaan bodoh, saya kasi kuliah kau sekarang!”

“PH Penggugat Jon Kadis sontak bernada tinggi separuh bentak dengan mengatakan ‘Saya tidak butuh kuliah dari Saudara, jawaban saudara bodok, saudara tidak menjawab pertanyaan saya yang gampang, yaitu Saudara cukup jawab tahu atau tidak, bahwa sejarah kedaluan masyarakat Nggorang dan Mburak adalah atas kesepakatan Dalu Kempo dan Boleng, dengan pemerintahan Kolonial Belanda. Tahu atau tidak. Itu saja jawabannya. Saudara tidak menjawab pertanyaannya, artinya Saudara tidak tahu, bahkan tidak tahu sejarah dan tidak tahu adat”, kata Jon Kadis.

Sebagian penonton yang ikut hadir dalam persidangan tersebut langsung keluar ruangan sidang saking emosi juga. Tiba-tiba Ketua Majelis Hakim mengetuk palu dengan keras untuk menghentikan perdebatan itu.

Ketua Majelis Hakim lalu menegur PH Penggugat, Jon Kadis dan saksi ahli, Anton Bagul, supaya tidak emosi.

Ia menjelaskan, Ketua Majelis Hakim juga sempat menegur seorang ibu yang hadir dalam persidangan tersebut yang duduk di bangku terdepan, sambil pangku kaki. Ternyata ibu tersebut diketahui merupakan istri dari Anton Bagul.

“Para pengunjung sidang harap duduk yang sopan, tidak boleh pangku kaki, supaya kita semua menghormati persidangan ini ya”, ucap Jon meniru Ketua Majelis Hakim.

Suasana sidang jadi panas. Lalu Hakim mempersilahkan PH Penggugat melanjutkan pertanyaannya.

Jon Kadis mengatakan “Saya ulangi pertanyaannya ya Saudara ahli. Mohon dengan sangat agar jawab dengan tenanglah. Kalau tadi saudara menjawab PH Tergugat dengan nada dan bahasa yang tenang, kok dengan saya mohon jangan yang kasar menjawabi pertanyaan saya dong, kata Jon Kadis sambil tersenyum, yang disambut ketawa seluruh isi ruangan sidang.

“Tapi pak, setelah kesaksian itu dan setelah sidang, saya melihat Anton Bagul dan Jon Kadis bersalam-salaman dan berpelukan, saling memaafkan”, sambung Mikael Mensen, salah satu keluarga penggugat yang hadir dalam persidangan.

Selain itu, Jon Kadis mengungkapkan  saat saksi ahli tersebut ditanya oleh hakim anggota soal tanah yang sudah diberikan oleh fungsionaris adat ishaka kepada masyarakat penerima tanah ulayat adalah sah dan apabila nanti ada tumpang tindih yang di anggap sah adalah penerima yang terdahulu/penerima pertama kali.

Oleh karena Kuasa Para Tergugat menanyakan kepada ahli bahwa seorang fungsionaris adat bersifat otokrasi maka hakim anggota menanyakan kepada ahli berkaitan dengan otokrasi tersebut.

“Sejak kapan fungsionaris adat ishaka ini dikatakan otokrasi dan berakhirnya kapan? lalu saksi ahli menjawab otokrasi fungsionaris ishaka sejak dia menjadi fungsionaris dan berakhir sampai dengan tahun 1960 setelah tahun 1960 yang berlaku adalah UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) dengan demikian fungsionaris adat ishaka tidak berhak lagi membagi tanah apalagi Hajo Ramang karena tanah kembali milik negara begitu bunyi aturan dalam UUPA tersebut menurut ahli Anton Bagul Dagur,” jelas Jon Kadis

Jon Kadis, yang mewakili teamnya di sidang itu, mengatakan, bahwa terdapat banyak perbedaan tajam antara penjelasan saksi ahli Tergugat ini dengan kondisi adat budaya Manggarai dalam hal Fungsionaris ulayat dan penyerahan tanah adat kepada pemohonnya.

“Saya juga anak turunan Tua Golo (Fungsionaris ulayat) loh..di Kempo ini, kampung Loha. Dulu disebut Kempo Mese yang wilayahnya termasuk Nggorang dan Mburak sebelum mekar. Bahwa Fungsionaris ulayat itu tidak bekerja solo, sendirian, autokrasi. Ia selalu bersama team, setidaknya terdapat Penata Tanah. Apalagi di kawasan multi etnis seperti di Labuan Bajo ini,” ujarnya

Ia menjelaskan bahwa ada 3 Penata Tanah di sini yang diangkat/dipercayakan Haji Ishaka, yaitu Haji Djuje, Tote Latif dan Dance Turuk, beserta wilayah Penataan tanahnya. Sementara Anton Bagul mengatakan bahwa Penata-penata ini tidak sah dan manipulasi.

“Ia juga terkesan tidak tahu sejarah sebenarnya mengapa sampai terbentuknya kedaluan Nggorang. Nggorang dan Mburak dulunya satu kesatuan dengan Kempo Mese ( Kempo besar) yang wilayahnya terdiri dari daratan pegunungan dan Kempo biring (pesisir dan pulau-pulau). Atas kesepakatan dalam musyawarah Dalu Kempo, Dalu Boleng dan Tua-tua adat termasuk Tua Adat Benteng, bersama Pemerintah Kolonial Belanda, maka terbentuklah kedaluan Nggorang dan Mburak. Adat dan hukum ulayatnya sama,” terang Jon Kadis

Ia menegaskan bahwa tugas Dalu itu pada intinya adalah pengumpul pajak. Jadi bukan muncul tiba-tiba begitu saja. Dan Fungsionaris ulat Nggorang ini tidak genealogis kelanjutannya. Dulu tidak berasal dari Tua Golo. Jadi sekarang, tidak automatis turunan Haji Ishaka jadi fungsionaris ulayat, tapi musyawarah lagi dulu dengan Tua-tua adat di Labuan Bajo dan sekitarnya.

“Jadi, Fungsionaris ulayat Nggorang itu adalah karena kesepakatan dalam musyawarah Tua-tua adat. Ingat, untuk masyarakat adat Nggorang, Haji Ishaka dulu selalu bermusyawarah Tua-tua adat, duduk bersama (lonto leok) untuk mengambil keputusan untuk bagi tanah ulayatnya. Ketika Haji Ishaka meninggal (tahun 2003) seharusnya Tua-tua adat duduk bersama lagi untuk mengukuhkan siapa penerus Fungsionaris Ulayat Nggorang. Bukan klaim sepihak diri sendiri, apalagi klaim di saat penguburan jenazah Haji Ishaka,” jelas Jon.

Ia menambahkan pada 1 Maret 2013, Haji Ishaka bersama Tua-tua Adat, termasuk Ramang telah membuat dokumen hukum adat yang menyebutkan bahwa semua tanah ulayat Nggorang khususnya Labuan Bajo semua sudah dibagi baik secara adat kapu manuk lele tuak maupun disusul dengan surat tertulis. Itu berarti, siapapun, termasuk Haji Ramang tidak berhak bagi tanah lagi.

“Konsekwensi logis dari fakta persidangan ini adalah Haji Ramang jelas-jelas tidak bisa dan tidak berhak membagi ulang tanah yang sudah dibagi oleh Haji Ishaka, tidak bisa memberikan surat pengukuhan tanah atau alas hak baik semasa Haji Ishaka maupun setelah meninggalnya. Dan sebagaimana berita sebelumnya, dalam surat Putusan perkara Tipikor tanah Pemda di Torolema Batu Kalo – Kerangan tahun 2021, Haji Ramang memberi kesaksian bahwa tanah perolehan Niko Naput dan istrinya di Torolema sudah dibatalkan oleh Fungsionaris Ulayat Haji Ishaka Tahun 1998 karena tumpang tindih di atas tanah orang lain dan tanah Pemda,” beber Jon.

Selain itu, kata Jon Kadis, dari fakta persidangan sebelumnya disebutkan oleh saksi PT.Mahanaim Group (Saudara Santosa Kadiman atau pemilik Hotel St.Regis), Aryo Juwono, bahwa luas tanah Niko Naput yang dibeli Kadiman dan dibuatkan akta PPJB di Notaris Bili Ginta di Labuan Bajo pada 29 Januari 2014, total luas 40 hektar.

“Anehnya, Santosa Kadiman masih merasa memiliki tanah 40 hektar itu, terbukti ia mau membangun Hotel St Regis di Kerangan, khususnya diatas tanah ahli waris alm.Ibrahim Hanta. Oleh karena itu, sertifikat tanah orang lain maupun yang masih GU (Gambar Ukur) diatas tanah 11 hektar warisan alm.Obrahim Hanta itu harus dicabut dan dibatalkan”, terang Jon Kadis.

Tapi satu yang pasti, kata Jon, bahwa dari saksi ahli Anton Bagul ini adalah, bahwa apa yang sudah diputuskan oleh Fungsionaris ulayat Nggorang terdahulu, Hj Ishaka, baik pemberian (lisan adat maupun tulisan) termasuk pembatalan manakala ternyata tumpang tindih diatas tanah orang lain, adalah sah. Di luar Haji Ishaka tidak sah.

Hingga berita ini terbit, media ini belum mendapatkan keterangan dari Anton Bagul Dagur selaku saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan di PN Labuan Bajo dan media ini masih berupaya untuk melakukan konfirmasi.