Falsafah hidup Orang Kei, Mat Nanlafik Wahan Soin ( mati demi batas tanah/ petuanan – red ), mengajarkan kita untuk berani berkorban nyawa atau mengorbankan nyawa orang lain, guna mempertahankan Wahan Soin ( Batas Tanah ).
Mat Nanlafik Wahan Soin atau disingkat MNWS, sebagai falsafah hidup orang Kei, sudah tidak relevan atau setidaknya kehilangan relevansinya untuk dijadikan sebagai pedoman hidup dalam kehidupan peradaban masyarakat moderen seperti saat ini.
Selain itu falsafah MNWS sebagai pedoman hidup secara substansi kontra produktif dengan falsafah hidup lainya :
- Bertentangan dengan Falsafah Harta I Bulin, Umat I Minan : Falsafah ini mengajarkan kepada kita bahwa harta benda, termasuk tanah dan barang dapat dicari, tapi manusia itu substansi ( terjemahan bebas ).
- Bertentangan dengan Falsafah Manut Ain Mehe Tilur, Vuut Ain Mehe Ngifun : falsafah ini menjelaskan bahwa Orang Kei itu satu keluarga karena dari satu turunan yang sama. ( terjemahan bebas ).
- Bertentangan dengan pasal 4 kaidah – kaidah hukum Pidana Adat Larvul Ngabal ; Lar Nakmot Naa Rumud ( darah tertutup dalam tubuh / badan ), bahwa tubuh manusia itu mulia, untuk itu harus dimuliakan sehingga dilarang melakukan pembunuhan atau penganiayaan.
- Bertentangan dengan Hukum Positif, ( Hukum Pidana ) P.351 Jo P.340 Jo P.338 Jo P.170 KUHPidana.
- Bertentangan model penyelesaian masalah dalam kehidupan masyarakat moderen, sebab dalam masyarakat moderen hukum adalah panglima tertinggi. Persoalan apapun mestinya diselesaikan melalui jalur hukum, baik secara litigasi maupun non litigasi, bahkan bila perlu diupayakan jalur non litigasi ( mediasi dll ) .
Pada tahap ini mediasi hukum adat dapat menunjukan eksistensinya, karena dilarang melakukan tindakan main hakim sendiri, sebab itu ciri – ciri budaya masyarakat bar2 yang mengedepankan kekerasan.
Dengan demikian kesimpulan saya, perlu dilakukan tafsir baru Falsafah Mat Nanlafik Wahan Soin ( mati demi batas tanah/ petuanan – red ), jika hendak masih dijadikan sebagai pedoman hidup atau Falsafah MNWS tidak perlu dipergunakan saja.
( penulis adalah Ahmad Matdoan, SH, Advokat tinggal di Jakarta )