Langgur Tual News – Wakil Bupati Malra, Ir. Petrus Beruatwarin, M.Si minta Hukum Adat Kei yakni Hukum Larvul Ngabal harus menjadi pedoman hidup orang Kei untuk dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sosial sehari – hari masyarakat, bukan hanya sebatas diucapkan di bibir.
Demikian permintaan Beruatwarin, ketika membuka secara resmi Seminar Nen Dit Sakmas Kabupaten Maluku Tenggara, Senin ( 02/9 ).
“ Saya ajak kita semua untuk menjadikan Hukum Larvul Ngabal benar – benar sebagai pedoman hidup kita orang Kei, tidak hanya sebatas diucapkan melainkan sunguh – sunggu kita ejawantakan dalam kehidupan dan relasi sosial sehar – hari “ Pintah Wabup Malra.
Wabup juga mengajak semua orang Kei, agar menghormati harkat dan martabat perempuan, terutama martabat Perempuan Kei, karena sosok Nen Dit Sakmas adalah Pahlawan Perempuan Kei yang meletakan dasar Hukum Adat Kei.
Kata Beruatwarin, kegiatan Seminar Nen Dit Sakmas dalam rangka memperingati Hari Nen Dit Sakmas untuk pertama kalinya di Malra , yang akan dirayakan tanggak 07 September 2019 mendatang, menjadi momentum bagi semua orang Kei berkumpul bersama dalam suasana persaudaraan Ain Ni Ain ( Kita Semua Satu ).
“ Ada harapan besar dengan momentum bersejarah ini, nilai – nilai filosofi hidup orang Kei yang tertuang dalam hukum Adat Larvul Ngabal maupun cara hidup Nen Dit Sakmas, dapat merasuki seluruh gerak kehidupan masyaraka Evav, lebih khusus perempuan – perempuan Kei dimana saja berada “ Terang Beruatwarin.
Dikatakan, perayaan hari Nen Dit Sakmas, akan diperingati tanggal 07 September setiap tahun, hal ini mengingatkan semua pihak akan sejarah hidup dan perjalanan Nen Dit Sakmas yang menjadi akar lahirnya tujuh (7) pasal Hukum Adat Larvul Ngabal, sebagai pedoman hidup masyarakat Kei.
Wabup Malra, Ir. Petrus Beruatwarin, menguraikan Tujuh (7) Pasal Hukum Adat Larvul Ngabal yang menjadi Falsafah luhur orang Kei, diucapkan dalam Bahasa Kei yakni
Pertama, itdok fo ohoi, it mian fo nuhu artinya kita mendiami kampung/desa, dan makan dari alam serta tanahnya.
Kedua, itdok it did kuwat dokwain itwivnon itdid mimiir/bemii artinya kita menempati tempat kita dan tetap menjijit bagian kita.
Ketiga, itwarnon afa ohoi nuhu enhov ni hukum adat artinya kita tetap memikul semua kepentingan kampung / desa kita dengan hukum adatnya.
Keempat, It wait teblo uban ruran, artinya kita hidup sejujur – jujurnya dan tetap berjalan tegak lurus
Kelima, Ikho Hukum adat enfanganam enbatang haraang artinya, dengan demikian hukum adat akan menyayangi dan melindungi kita.
Keenam, Nit yamad ubadtaran nusid teod erhoverbatang fangnan, artinya leluhurpun ikut menjaga dan menyanyangi kita.
Ketujuh, Duad enfangnan wak, artinya Allah pun melindungi kita.
Menurut Beruatwarin, Falsafah ini yang kemudian mendasari terbentuknya tujuh (7) Hukum Adat Larvul Ngabal, yakni Uud entauk atvunad ( kepala kita bertumpu pada tengkuk kita ). “ hal ini adalah penghargaan terhadap pemerintah dan harus dipastikan bahwa pemerintah ada untuk melindungi dan menjamin kehidupan masyarakat “ ujarnya dalam Bahasa Adat Kei.
Selain itu, Lanjut Wabup filosofi Lelad ain fo mahiling, ( leher kita dihormati, diluhurkan ), mengandung makna kehidupan bersifat luhur dan mulia sehingga hidup seseorang harus dipelihara, tidak boleh diganggu.
“ Ada lagi kaida Uil nit enwil rumud ( kulit dari tanah membungkus badan kita ), ini artinya penghargaan terhadap kehormatan, nama baik/harga diri manusia adalah yang utama, olehnya itu kehormatan orang lain harus diakui dan tidak boleh dicemarkan “ Pesan Wabup Malra.
Disamping itu kata Beruatwarin, tubuh manusia harus dimuliakan sehingga tidak diperkenankan melakukan pembunuhan atau penganiayaan, termasuk perlakukan sewenang – wenang, apalagi menumpahkan darah dengan melukai orang lain atau diri sendiri sesuai amanat leluhur Evav, Lar nakmot na rumud ( darah tertutup dalam tubun ).
Terkait perkawinan dan penghormatan terhadap perempuan, menurut Wakil Bupati Malra, amanat Leluhur Kei sangat jelas tercantum dalam Bahasa Kei, Rek fo kilmutun ( perkawinan hendaklah pada temlpatnya, agar suci dan murni ), kaidah hukum ini menerangkan tentang penghargaan terhadap kehidupan rumah tangga. Rumah tangga harus dihormati, tidak boleh diganggu gugat dan tidak boleh ada orang ketiga, karena perkawinan adalah kehendak Allah.
“ Perempuan harus dihormati dan diluhurkan ( Morjain fo mahiling ), kaidah hukum ini menunjukan penghargaan terhadap perempuan sebagai makhuk yang paling dihormati / dihargai, artinya pelarangan terhadap segala bentuk tindakan asusila yang mengusik harkat dan martabat perempuan “ Jelasnya.
Inti dari semua kaida Hukum Adat Kei, kata Wabup terletak pada filosofi Hira i ni fo ni, it did fi it did ( milik orang tetap milik mereka, milik kita tetap milik kita ). “ ini adalah kaidah dasar yang menjamin dan mengakui hak kepemilikan barang oleh orang lain “ ujarnya.
Wakil Bupati Malra menegaskan, dari uraian tentang norma dan hukum Adat Kei yang dituangkan para Leluhur dalam pasal – pasal tersebut, nampak secara nyata dapat dilihat dan dihayati dengan sungguh sungguh kalau Leluhur Kei memiliki tingkat kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan kecerdasan sosial yang sangat tinggi sehingga mampu merumuskan Hukum Larvul Ngabal yang mengatur seluruh tatanan hidup orang Kei secara lengkap.
“ Hukum ini telah ada jau sebelum Hukum Positif Negara ini dibentuk, Hukum ini juga sudah ada jau sebelum agama yang kita kenal dan anut saat ini di Kepulauan Kei, luar biasanya adalah Hukum Adat Larvul Ngabal sejalan dengan Hukum Positif maupun ajaran agama yang kita anut bersama, saya mau katakan disini, inilah kebanggaan yang harus kita jaga, Nen Dit Sakmas telah mengajarkan kita harus hidup dalam kebaikan, yang tentu akan menopang kehidupan dan keberlanjutan hidup manusia dan alam semesta “ Tandas Beruatwarin.
Kegiatan Seminar Nen Dit Sakmas, menghadirkan dua Narasumber masing – masing, Raja Faan, Patris Renwarin dan Pastor Hans Rettob MSC. ( team tualnews.com )