Langgur Tual News – Prosesi Adat Kei mewarnai penutupan Gereja Santo Antonius De Padua, Stasi Wulurat, Kecamatan Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara, Kamis (12/9 ). Menariknya, acara tutup Gedung Gereja Khatolik itu agak berbeda, karena harus didahului dengan prosesi adat Kei untuk mengenang warisan para Leluhur yang sampai saat ini tetap dipertahankan dan dilestarikan.
Keunikan acara tutup Gereja Wulurat, memiliki makna yang hakiki. Hal ini membuktikan kalau kedudukan tiga tungku yakni Adat, Pemerintah dan Agama atau dalam Bahasa Kei dikenal dengan sebutan Adat, Kubni, Agam ( AKA ), merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan harus dipertahankan serta dilestarikan sepanjang massa.
Sebelum dilaksanakan acara serimonial, yakni pemberkatan atap Gereja oleh Pastor, sudah menjadi tradisi adat dan budaya Umat Khatolik di Wulurat, maka didahului dengan upacara adat Kei, sebagai satu persembahan syukur kepada para Leluhur yang dipimpin langsung Para Tokoh Adat Wulurat yang dikenal dengan sebutan Ko Yam Faak.
Ritual adat tersebut merupakan tradisi adat dan budaya masyarakat di Wulurat yang sudah turun temurun sejak dahulu kalla dan masih tetap dilestarikan para generasi muda di kampung Wulurat sampai saat ini.
Berdasarkan penuturan salah satu Tokoh Pemuda Wulurat, Tarsius Sarkol, sebelum masyarakat di Kepulauan Kei mengenal dan menerima agama sebagai satu keyakinan iman dan kepercayaan, para leluhur kampung Wulurat sejak ratusan tahun silam Percaya akan Alam.
“ Para leluhur meyakini ada kekuatan lain yang tak terlihat menguasai kehidupan manusia zaman itu seperti pohon, batu, hutan, laut dan udarah, sehingga mereka menjadikan Alam sebagai mediator untuk menyampaikan doa dan permohonan bagi para Leluhur dan penguasa alam semesta yang tak kelihatan “ ungkap Sarkol.
Dikatakan, sesuai Catatan Sejarah, Ohoi Wulurat, Kei Besar, termasuk dalam wilayah kekuasaan Ratshap Mer Ohoinean. Para Leluhur Kei sudah mendiami Kepulauan Kei sekitar tahun 1630 – an, mereka hidup berinteraksi, mempertahankan wilayahnya dari serangan pihak luar di zaman itu.
“ Zaman itu dikenal dengan Hukum Rimba, Siapa Kuat dia yang menang “ Ujarnya.
Sarkol mengaku saat ini ada tiga keindahan alam yang dipercaya menjadi Maha Karya Seni yang sangat luar biasa, ditinggalkan para Leluhur kepada warga kampung Wulurat sampai saat ini yakni Kuburan para Leluhur yang dikenal dengan nama Iksail empat kuburan Leluhur dari empat Marga besar yang mendiami Ohoi Wulurat yakni Marga Moryaan, Morwarin, Sarkol, dan Rahangiar.
“ Empat kuburan Para leluhur kami sampai saat ini masih ada, kuburan ini berisi tulang belulang para Leluhur yang dimakamkan dengan cara diletakan diatas tanah, kemudian disusun dengan bebatuan alam berbentuk kuburan dengan rongga ( Cela –red ) ditengah yang meyerupai bentuk kuburan umum kristen saat ini, siapapun yang pertama kali datang melihat kuburan alami bentuk bebatuan dengan panjang dua sampai tiga meter dan lebar satu meter pasti kagum dan terpesona “ Tutur Tarsius Sarkol.
Selain itu kata dia, warisan Leluhur yakni Benteng Pertahanan dari batu alam, atau dikenal dengan sebutan Bahasa Adat Kei Lutur Ko Faak, menjadi satu maha karya seni buatan tangan para Leluhur yang sesuai penuturan Sejarah, benteng itu dibangun para leluhur selama tiga musim timur, menariknya kata Sarkol, Benteng Alam warisan budaya itu disusun dari batu papan alam dengan lebar 1 – 3 meter per batu.
“ Para Leluhur kami menyelesaikan pembangunan benteng batu alami sebagai benteng untuk bertahan dan menyerang musuh kalla itu, dengan panjang 40 meter, lebar 29 meter, ketebalan tembok dua meter, dengan ketinggian tembok mencapai tujuh tingkat atau 7 meter “ Jelas Tarsius Sarkol.
Sampai saat ini, kata Sarkol, benteng bebatuan alami tersebut masih berdiri kokoh di Wulurat, bagi siapapun yang datang mengunjungi benteng ini, terlihat dua pintu masuk dari depan dan belakang, serta empat jendela pengintai di setiap sudut benteng.
Menurut Sarkol, pusat kampung atau Woma Elwalob Baelnganu adalah kampung tua, yang juga lokasi para Leluhur kalla itu dalam menjalankan ritual adat dalam bentuk persembahan ( Sob – Sob ) bagi para leluhur dan penguasa alam semesta.
“ Woma Elwalob Baelnganu dibagi menjadi dua petak, satunya disebut Elwalob dan yang satunya lagi dinamakan Baelngan. Uniknya, hanya mereka yang kami sebut sebagai Tuan Tan atau Tuan Tanah dari Marga Moryaan, karena sejak zaman para leluhur mereka dipercaya membawah dan mempersembahkan sob-sob “ Pungkasnya.
Tarsius Sarkol mengaku, Tradisi adat dan Budaya peninggalan para Leluhur Ko Yam Faak sampai saat ini masi tetap dijaga dan dipelihara, olehnya tak heran kalau Pemberkatan Atap Gereja Wulurat harus didahului dengan prosesi adat Kei.
“ Kalau ada waktu, datang dan berkunjung ke Ohoi Wulurat, Kecamatan Kei Besar, untuk saksikan sendiri keindahan peninggalan Leluhur kami yang kini kami lestarikan sebagai icont Wisata Alam dan Budaya Kei di Kabupaten Maluku Tenggara, Propinsi Maluku “ Pintah Sarkol. ( team tualnews.com