OLEH : A.S.MARs
“Power Poison” (racun kuasa) merupakan zig-zag kuasa dalam dunia dewasa ini. Kuasa dimanfaatkan sekian demi meraih interese pribadi. Kongkalikong dan iming-iming diterapkan secara apik untuk mencapai reputasi dan special purpose (tujuan khusus). Salah satu teknik meracuni kuasa adala korupsi. Power tends to corrupt, seru Lord Acton. Uang pelancar, uang pelicin, suap, sogok, uang semir dan uang rokok dipakai guna membungkam atau memuluskan. Money politic dan status quo menjadi teman karib, erat terkait dan saling bergandeng tangan.
Tindakan tak memisahkan milik masyarakat dan milik pribadi, sesungguhnya sudah di mulai sejak zaman dulu. Pelaku tindakan ini adalah seorang raja dengan wewenang mutlak, tak tergoncangkan. Dengan kuasa itu,banyak aturan bisa diterapkan, malah hingga memungut hasil dari masyarakat atau rakyat jelata. Rakyat dibungkam, hanya “bilnd obedience” (ketaatan buta) jalan terbaik, walau itu sebagai “stepping stone” (batu loncatan) untuk meraih kekayaan pribadi.
Pada masa feodal ada tanah milik raja, praktek memungut pajak, sewa membayar upeti dari rakyat. Bukan hanya itu, jabatan raja pun menjadi turun-temurun (birokrasi patrimonial). Dengan ini, penumpukan kekayaan pada sebuah dinasti makin diperjelas. Sikap ini diwariskan kepada anak cucunya. Kini sistem feodal tidak ada secara terang namun posisi raja diganti oleh penguasa dengan potensi itu. Dan sesungguhnya praktek korupsi dilatarbelakangi oleh sistem feodal pada zaman kerajaan itu. Selain itu, ada beberapa sebab korupsi.
Pertama, pemimpin dalam posisi kunci tak mampu memberikan ilham yang berpengaruh terhadap tingkah laku korupsi. Kelemahan pemimpin dalam menjinakkan korupsi bisa disebabkan oleh keterlibatan pemimpin dalam praktek ini. Akibatnya, tutur kata dan tindakan menjadi rancu. “Knowing how to do something and doing it is two different things” (Tahu bagaimana melakukan sesuatu dan melaksanakannya adalah dua hal yang berbeda). Dengan kata lain, “Do like I say, don’t like do” (Lakukan seperti yang saya katakan, jangan lakukan seperti yang saya lakukan). Kedua, kelemahan pengajaran etika dan moral. Kriteria hidup baik dan pantas belum diketahui; norma-norma dan aturan moral tak diberikan secara tuntas. Karena itu, bahan pertimbangan menjadi minim. Ketiga, lilitan kemiskinan mendorong orang memanfaatkan kesempatan dan menghalalkan berbagai cara agar keluar dari cengkaraman itu. Keempat, lemahnya sistem kontrol, manajemen yang kurang baik membawa peluang korupsi. Juga lemahnya kontrol sosial termasuk lingkungan dan keadaan masyarakat memacu para pelaku korupsi tetap bertengger atau memotivir koruptor baru untuk mulai terlibat. Kelima, ketidakpastian hukum, lunaknya tindakan hukum memberi peluang terciptanya korupsi. Keenam, struktur pemerintahan yang sentralistik, bertumpu pada pusat, bergantung sepenuhnya tanpa boleh mengambil keputusan sendiri, sangat rentan bagi munculnya korupsi. Bawahan mudah dipercundangi. Ketujuh, providing for old age is one of life’s elementary precautions (menyiapkan hari tua adalah tindakan pencegahan dasar terhadap hidup). Setiap individu berupaya menabung sepanjang hidup dan hidup dari bunga pengumpulan pensiunan. Tingkat pensiunan pribadi bergantung pada pendapatan, kemauan untuk menabung dan bunga rata-rata pada tabungan. Hal ini mendorong terjadinya korupsi. Kedelapan, sebab psikologis, yakni semboyan “seandainya”. Stephen Leacock menulis: Urut-urutan hidup kita sungguh aneh! Anak kecil berkata bahwa, “Bila sudah besar”. Tapi apa artinya ini? Anak yang sudah besar berkata, “Bila saya sudah dewasa”. Kemudian jika ia sudah dewasa. Ia akan berkata, “Bila saya sudah kawin”. Selanjutnya, pikirannya berubah dan berkata. “Bila saya sudah pensiun”. Akhirnya, jika masa pensiun tiba ia melihat kembali pemandangan luas yang telah dilewatinya. Rupanya angin sepoi-sepoi basah berhembus di lapangan luas tetapi semuanya telah menjadi lampau dan hilang. Kita terlambat mengetahui bahwa hidup ini ada pada diri kita, ada pada setiap saat, setiap hari dan setiap jam. Selalu tak puas apa adanya, kini dan di sini adalah tipe manusia yang sulit berbahagia.
Menurut Thomas Aquinas, alam memang merupakan sumber kehidupan dan kehidupan itu sendiri, akan tetapi ia perlu dijaga sebagaimana kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini hanya mungkin bila manusia dibiarkan memiliki secara pribadi bagian tertentu dari alam ini. Hanya dengan ini manusia bersedia bertanggung jawab merawat, untuk peduli pada hidup itu, sehingga hak milik pribadi memungkinkan manusia menjaga dan melestarikan hidup.
Thomas Hobbes mengatakan: kalau setiap orang menuntut haknya, dengan sendirinya setiap orang harus juga menghargai hak orang lain. Jika tidak maka terjadilah “manusia menjadi serigala bagi sesamanya”. Karena kecenderungan mepertahankan hidup pribadi setiap orang lain akan dengan sendirinya menghargai hidup dan hak orang lain di bawah bimbingan akal budi atau perasaan moral universal. Manusia tak hanya mempertahankan hidup “Aku” partikular melainkan juga “Aku” universal. Manusia bertindak secara harmonis demi keselarasan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, demi menghargai dan melestarikan hidup aku universal tadi. Untuk menjaga kelestarian kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, hukuman menjadi faktor penentu, karena Hukum bagian integral dari hidup.
Cita-cita mencapai harmoni dituangkan dalam hukum positif, penjamin hak setiap orang dengan tujuan akhir menegakkan ketertiban dan disiplin dalam masyarakat. Masyarakat lalu tertib bukan karena diutamakannya hak bersama melainkan karena hak setiap individu dijamin. Dengan ini setiap orang merasa ada kepastian terhadap haknya. Ia yakin hukum membelanya kalau ia benar dan akan menghukumnya kalau ia salah. Maka setiap orang akan mendisiplinkan dirinya demi haknya.
Hukum harus menjadi bagian hidup kita. Kita harus merasa yakin akan kepastian keberlakuan hukum, ini dimaknai dalam kehidupan sehari-hari, baik di jalanan maupun dalam menghargai aturan lalu lintas, bahkan dalam menunggu giliran di berbagai tempat umum. Orang merasa pasti akan gilirannya karena ada aturan main (Hukum tertulis dan kebiasaan tak tertulis) menjamin hak dan gilirannya. Keadilan menjadi tempat sakral. Marcus Tulius, mengatakan keadilan berfungsi menjaga agar orang tidak saling merugikan. Kedailan mengarahkan manusia untuk menggunakan hak milik bersama demi kepentingan bersama dan hak milik pribadi demi kepentingan masing-masing. Dan jelas keadilan hanya ditegakan melalui hukum. Orientasi hukum menjadi sangat kuat karena dengan hukum haka setiap orang ditegakan yaitu dengan menggunakan hukum Kodrat dan hukum Positif. Hukum Kodrat merupakan serangkaian norma, abstrak, tak tertulis yenga mengatur keharmonisan alam. Hukum ini di tuntun oleh akal budi dan bisikan hati nurani. Bahaya hukum ini adalah bisa di gunakan pertimbangan manusiawi dan pendekatan kekeluargaan, sedangkan hukum positif adalah hukum tertulis dengan aturan praktisnya dalam menilai perilaku manusia maupun dalam menjatuhkan sanksi. Untuk menyelesaikan persoalan korupsi, hukum postif ditawarkan sebagai patokan. selain penegakan hukum dalam mengatasi korupsi, integritas pemimpin juga menjadi faktor penting.